Lintaswaranews.co Palembang | Skema Power Wheeling masuk ke dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang rencananya akan segera dibahas DPR bersama Kementerian ESDM RI, pekan depan. Rencana ini mendapat protes keras dari Serikat Pekerja PLN.
Power Wheeling sendiri merupakan mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Artinya, PLN tidak menjadi single multiple buyer karena pembangkit bisa langsung menjual listrik ke konsumen.
Ketua DPD Serikat Pekerja PLN UIF S2JB Hendara Manjaya, melalui Sekretaris DPD SP PLN UID S2JB, Iman Aswilton didampingi Ketua DPC SP PLN UP3 Palembang, Rangga Zumartha mengatakan, rencana tersebut menabrak aturan mengenai kelistrikan nasional.
Dari sisi konstitusi, power wheeling ini melanggar aturan UUD 1945 Ayat 2 yang berbunyi, ‘Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara’.
Skema power wheeling juga bertabrakan dengan UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, khususnya Pasal 10 Ayat 2 yang berbunyi, ‘Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentimngan umum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
Kemudian, Putusan MK No 111/PUU-XIII/2015 tentang pasal ini sendiri menyatakan bahwa tidak dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol sesuai dengan prinsip “dikuasai oleh negara”.
“Praktik power wheeling ini sangat berpotensi mengurangi kontrol PLN terhadap sistem ketenagalistrikan nasional,” kata Iman saat dibincangi, Senin (27/11).
Iman mengatakan, pembahasan power wheeling sebelumnya telah ditolak untuk dibahas oleh DPR pada awal tahun lalu. Pemerintah juga telah bersepakat untuk tidak memasukkan power wheeling dalam DIM RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang diserahkan ke DPR untuk dibahas.
“Namun, rencana itu kembali bergulir dan informasinya akan dibahas pekan depan,” ucapnya.
Saat ini, kata Iman, SP PLN tengah melakukan upaya audiensi ke DPR RI untuk menggagalkan rencana tersebut. Sebab, Iman mengatakan, negara dan masyarakat sangat dirugikan jika mekanisme power wheeling ini diterapkan.
“Kami terus bergerak dan menyuarakan penolakan ini agar Indonesia bisa berdaulat dengan Ketahanan Energi dan meluruskan kembali pengelolaan sektor kelistrikan sesuai Amanah Konstitusi UUD 1945,” terangnya.
Tagihan Listrik Diprediksi Naik Tiga Kali Lipat
Selain menabrak sejumlah aturan perundangan, power wheeling juga berpotensi dapat merugikan PLN, negara dan masyarakat.
Sekretaris DPD SP PLN UID S2JB, Iman Aswilton mengatakan, power wheeling secara langsung hanya akan menguntungkan dua pihak saja, yaitu pihak pembangkit dan pembeli listrik. Sedangkan pihak lain di luar keduanya akan dirugikan, yakni PLN, keuangan negara dan masyarakat.
“Harga listrik yang berlaku setelah skema ini diterapkan bisa membengkak hingga tiga kali lipat,” kata Iman.
Iman menuturkan, jaringan PLN berpotensi mengalami kelebihan beban dengan bertambahnya pasokan listrik karena power wheeling ini. “Beban PLN dalam memelihara dan meningkatkan jaringan transmisi dan distribusinya akan semakin berat,” ungkapnya.
Saat ini, kata Iman, PLN sudah dalam kondisi terpuruk lantaran ketentuan take or pay yang diterapkan di sektor pembangkit. PLN harus menanggung biaya produksi listrik yang dihasilkan oleh independent power producer (pembangkit listrik non-PLN) meskipun sudah dalam kondisi oversupply.
“Makanya, PLN sudah banyak menghentikan operasional sejumlah pembangkitnya untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan dari produksi listrik,” bebernya.
Diberlakukannya power wheeling nantinya, menurut Iman, akan semakin memperparah kondisi keuangan PLN. Tentu, kondisi itu juga bisa berimbas terhadap keuangan negara dan biaya listrik masyarakat.
“Kami dengan tegas menolak rencana penerapan mekanisme power wheeling ini karena hanya menguntungkan beberapa pihak saja,” tandasnya.
Power Wheeling Perparah Kondisi Oversupply Listrik
PLN saat ini sudah sangat dirugikan dengan sistem ketenagalistrikan nasional yang sedang mengalami oversupply. Lewat ketentuan take or pay, PLN harus menanggung biaya produksi listrik yang dihasilkan oleh IPP (pembangkit listrik non-PLN) meskipun sebagian besar energi yang dihasilkan tidak terpakai.
Sekretaris DPD SP PLN UID S2JB, Iman Aswilton didampingi Ketua DPC SP PLN UP3 Palembang, Rangga Zumartha mengatakan, secara nasional kondisi listrik oversupply hingga 6-7 Gigawatt per tahun. Prediksinya pada 2026 mendatang, kondisi oversupply bisa bertambah 3-6 Gigawatt per tahun.
“Jadi ada sekitar 6-7 Gigawatt yang biayanya harus ditanggung PLN setiap tahunnya lantaran kondisi oversupply,” kata Iman.
Dia mengatakan, rencana Power Wheeling yang rencananya bakal dibahas DPR bersama Kementerian ESDM bakal memperparah kondisi oversupply. Sebab, swasta terus dibebaskan untuk membangun pembangkit hingga bisa menjual langsung ke pelanggan lewat jaringan PLN.
Selain itu, terdapat potensi jaringan PLN mengalami kelebihan beban dengan bertambahnya pasokan listrik karena power wheeling ini. Sementara, investasi jaringan transmisi dan distribusi harus tetap berjalan, baik pembangunan baru atau penguatan jaringan yang sudah ada sebelumnya, agar ketahanan sistem ketenaglistrikan tetap dapat ditingkatkan.
“Power wheeling akan menyebabkan beban PLN makin berat dalam memelihara dan meningkatkan jaringan transmisi dan distribusinya,” tambah Iman.
Kondisi oversupply yang diperparah dengan power wheeling ini akan menyebabkan beban PLN yang semakin besar dan akan berakibat pada peningkatan anggaran negara yang dialokasikan untuk PLN baik dari segi penyertaan modal negara (PMN) maupun anggaran kompensasi dan subsidi.
Peningkatan beban PLN lewat Power Wheeling dapat meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) atau Biaya Penyediaan Tenaga Listrik oleh PLN untuk melaksanakan kegiatan operasi di pembangkitan, penyaluran (transmisi), dan pendistribusian tenaga listrik ke pelanggan. Peningkatan BPP ini akan berdampak kepada kenaikan tarif listrik bagi konsumen itu sendiri.
“Jadi jelas power wheeling ini akan menguntungkan dua pihak saja. Sementara PLN, negara dan rakyat akan dirugikan,” bebernya.
Untuk meningkatkan bauran energi terbarukan tidak harus dengan power wheeling yang bertentangan dengan konstitusi, perundangan dan hajat hidup orang banyak. PLN dapat memenuhi target peningkatan energi baru ini dengan merealisasikan target-target yang ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
“Dalam RUPTL PLN 2021-2030 telah jelas bahwa target kapasitas pembangkit energi terbarukan (EBT) adalah sebesar 51,6 persen atau 20,923 Megawatt pada 2030. Ini artinya kalau PLN disiplin dalam menjalankan amanat RUPTL ini maka Indonesia bisa melakukan transisi energi dengan baik tanpa melanggar konstitusi dan merugikan hajat hidup Masyarakat,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Skema ‘Power Wheeling’ akan kembali dibahas oleh Kementerian ESDM bersama DPR RI yang dijadwalkan berlangsung pada pekan depan. Dengan dibahasnya skema tersebut, nasib PLN sebagai perusahaan tunggal listrik negara pun berada di ujung tanduk.
Untuk diketahui, ‘Power Wheeling’ adalah pemanfaatan bersama jaringan transmisi listrik PLN oleh swasta. Sehingga, PLN tidak lagi sebagai penyuplai listrik tunggal di negara ini.
Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto mengatakan, bila ‘Power Wheeling’ ini disetujui maka pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) diperbolehkan membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Sehingga, PLN tidak menjadi single multiple buyer karena pembangkit swasta langsung menjual listrik ke konsumen.
“Power wheeling ini akan mengurangi tingkat penguasaan negara (dalam hal ini diwakili oleh PLN) terhadap sistem ketenagalistrikan nasional. PLN tidak mempunyai kendali atas listrik yang melewati jaringannya,” ujar Rofik, Sabtu (25/11). [*]